TIK Sundari (bukan nama sebenarnya) telah beberapa hari ini murung
terus, lantaran dalam seminggu tetangganya meninggal dunia dengan
misterius. Seluruh badannya luka-luka berwarna hitam seperti orang yang
‘dicucuki’ banyak dan matanya hampir keluar. Padahal cuma sakit sebentar
dikiranya masuk angin biasa tetapi kenyataan tidak ‘nututi’ ketika
dibawa ke rumah sakit. Setelah dirunut ternyata korban hanya kalah
janji, katanya hari ini mau melunasi utangnya kepada mas Bonar (bukan
nama sebenarnya) yang masih kakak kandungnya sendiri.
Begitu berkali-kali dan setiap ada korban tewas, mesti keluarganya
bilang kalau punya utang dengan kakaknya dan belum membayar sampai batas
waktunya. “Ah, ini mesti perbuatan kakak yang tidak kapok-kapok padahal
hartanya sudah melimpah,” demikian pikir Atik Sundari.
Gawang-gawang masih terngiang ketika kedua orang tuanya mau wafat,
selain mewariskan sebidang tanah berikut bangunan rumah yang besar
ternyata orang tuanya itu juga punya ‘lemek’ kalau menurut orang Jawa
namanya pesugihan.
“Ndhuk dan kamu Bonar, bapak hanya bisa mewarisi rumah dan tanah
sedikit. Bagilah rata dan adil, jangan rebutan. Namun bapak juga punya
ingon-ingon banyak angkrem yang bisa membantu kamu dalam mencari rezeki,
semoga kamu bisa momong” demikian ucapnya ketika itu.
Tentang tanah dan bangunan rumah telah dibagi dua sama-sama setuju,
namun mengenai ‘ingon-ingon’ banyak angkrem sebetulnya Atik Sundari agak
keberatan. Sebagai pemeluk agama yang taat hati kecilnya tidak sampai
kalau harus mengor bankan orang lain demi kepentingan kekayaan sendiri,
atau numpuk harta. Maka ketika orang tua menyinggung masalah ‘pesugihan’
banyak angkrem Atik Sundari menolak dengan halus, biar kakaknya mas
Bonar yang mengurus.
Maka dalam kehidupan sehari-hari, Atik Sundari sekeluarga biasa-biasa
saja sedangkan kakaknya Bonar disamping warisan orang tua sudah kaya
kini semakin kaya lagi. Kehidupannya serba mewah, rumah besar mobil ada
dua masih kincling semua keluaran tahun mutahir. Tetapi kakak beradik
itu tetap tinggal berdampingan, sebelah kiri kakaknya dan Atik Sundari
sebelah kanan. Mereka rukun satu sama lain anak-anaknya pun bermain
bersama, tidak pernah congkrah atau saling bermusuhan.
Yang merisaukan Atik Sundari adanya kematian warga kampung yang
misterius dan berturut-turut, dengan luka hitam bengkak-bengkak sekujur
tubuhnya rojah-rajeh mengenaskan. Dilain pihak kekayaan kakaknya semakin
membengkak, sugih mblegendhu. Maka setelah sembahyang Maghrib Atik
Sundari menemui kakaknya yang baru saja pulang dari toko, mengutarakan
maksudnya. “Mas Bonar, apakah tega melihat warga menjadi korban akibat
‘pesugihan’ banyak angkrem?” katanya langsung pada persoalan. “Sudahlah
dik, ini urusan kakak. Kamu tidak usah ikut-ikutan yang penting hidup
kamu berkecukupan,” jawab kakaknya kalem. “Mas, kita hidup ini kan butuh
bermasarakat juga, kalau kita banyak merugikan orang-orang yang tidak
berdosa bagaimana mempertanggung jawabkan besok di akirat,” ungkap Atik
Sundari. “Pokoknya ini semua tanggungjawab saya, yang penting harta kita
berlimpah hidup kita cukup tambah disegani,” kata Bonar tegas. “Tidak
Mas, saya berani menentang kelakuan jahat, karena ingat besuk semua
perbuatan kita didunia pasti diadili oleh Tuhan YME. Mulai detik ini
saya anggap kamu bukan kakakku lagi, kalau masih tega berbuat jahat,”
kata Atik Sundari sembari berdiri meninggalkan ruang tamu kakaknya.
Mendapat tantangan dari adiknya, Bonar bukannya sadar tetapi malah
berbuat lebih jahat lagi. Paginya, ketika anaknya Atik Sundari sedang
bermain-main dihalaman rumah mendadak pulang sambil menjerit-jerit
ketakutan, jangan...jangan...saya takut saya tidak bersalah. Matanya
mendelik seperti melihat barang yang menakutkan, katanya ia diuber-uber
oleh binatang seperti itik warnanya putih mulus agak besar dan gulunya
panjang. “Pasti banyak angkrem, kenapa kakakku tega kepada keponakan
sendiri?” gumam Atik Sundari getem-getem. Setelah konsultasi dengan kiai
Nur Saleh (bukan nama sebenarnya) Atik Sundari mulai mengadakan
perlawanan terhadap ‘pesugihan’ kakaknya, ia tahu persis kalau setiap
malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon banyak angkrem itu harus diberi
sesaji. Maka keberadaannya harus mendekam di pekarangan seperti sedang
mengerami telur-telurnya agar bisa menetas dengan baik, saat itulah yang
tepat untuk memusnahkan makhluk gaib itu sebab kalau tidak atau sedang
berkeliaran galaknya bukan main.
Maka dibacanya ayat-ayat suci Alquran sambil berdoa kepada Tuhan YME
agar dijauhkan dari marabahaya, terutama perbuatan setan yang
menyesatkan. Tiba-tiba seperti ada guntur meledak didalam rumah,
dhar.....tahu-tahu sosok tubuh kakaknya terbanting jatuh dilantai
sambat-sambat : “ Aduh...aduh sakit, jangan bunuh
aku....tolong...kapok”. Paginya tersebar keseluruh kampung bahwa juragan
Bonar meninggal dunia mendadak tanpa sakit lebih dulu, sekujur badan
nya penuh luka arang kranjang seperti dipatuk binantang buas lebam
hitam. Juga matanya mendolo menahan rasa takut, yang mengherankan
ranjang tempat tidurnya bosah-baseh seperti habis untuk bertelur
binatang itik tetapi tidak jadi dan bau busuk sangat menyengat.
Sampai jenazah dikuburkan, tidak ada yang tahu kecuali Atik Sundari,
adiknya. “Semoga diampuni dosamu mas Bonar, saya terpaksa mengusir
‘banyak angkrem’ dari rumah ini jangan sampai membuat bencana di
masyarakat,” demikian batinnya, konon pesugihan ‘banyak angkrem’ merasa
diusir dari rumah membuat marah dan buntutnya ‘tuannya’ sendiri yang
dilalap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar